Darat!” seru seorang kelasi yang sedang bertengger di mercu yang tiang itu. “Ada darat di sana!” Suaranya mengalun dari atas ke bawah, ke geladak kapal layar yang sedang melintasi Lautan Pasifik itu. Seluruh isi kapal itu segera naik dari bawah. Sudah lama mereka rindu menyaksikan daratan! Ada kelasi yang mulai naik ke tiang layar untuk dapat melihat lebih jauh ke arah haluan. Ada penumpang yang lari ke kayu rimbat di pinggir geladak. Salah seorang penumpang itu adalah seorang pemuda bernama John Geddie. Ia pun rindu sekali menyaksikan daratan yang sudah nampak di kejauhan itu. Pasti daratan itu lain sekali daripada apa saja yang pernah dilihatnya sepanjang umur. John Geddie berasal dari negara Kanada, propinsi Nova Skotia. Ia sudah mengenal lautan, tetapi lautan di sana ditumbuhi pohon cemara dan pines, dan sering tertutup salju.
Lain sekali dengan daratan yang sedang dituju oleh kapal layar itu! John Geddie telah datang ke daerah Pasifik Selatan yang panas lembab, agar ia dapat memberitakan Kabar Baik tentang Tuhan Yesus kepada para penduduk Kepulauan Vanuatu. Atau lebih tepat, Ia berharap ada kesempatan memberitakan Kabar Baik kepada mereka, sebelum mereka sempat memakan dia, karena pada tahun 1848, masih ada di antara penduduk Vanuatu itu yang suka makan daging manusia.
Selama kapal berlayar mendekati pelabuhan, John Geddie menunggu dengan perasaan kurang sabar. Pulau itu nampaknya seperti zamrud hijau ditengah-tengah lauatan nan biru. Pohon-pohon palem menjulang tinggi di pantai pasir putih.
Ternyata pulau yang pertama-tama dilihat John Geddie itu bernama pulau Aneityum. Penduduk pulau itu sudah biasa didatangi orang asing. Mereka suka berdagang dengan para pendatang yang naik kapal dari jauh. Jadi, John tidak usah khawatir akan dibunuh dan dimakan selama ia menetap dipulau Anityum itu.
Dengan mudah John Geddie menyewa sebuah rumah. Para tetangganya yang baru itu rupanya cukup ramah. Namun mereka kurang berminat akan ajarannya tentang Tuhan Yang Maha Esa.
“Kami punya ilah-ilah sendiri,” demikian kata orang-orang Vanuatu itu.
“Buat apa kamu mau mendengar tentang ilah lain yang diceritakan orang asing yang warna kulitnya sudah luntur itu?”
Tidak lama kemudian, kapal laut yang telah membawa John Geddie ke pulau Aneityum itu berangkat lagi. Ia berdiri di pantai sambil melambaikan tangannya selama layar itu kelihatan semakin kecil di kejauhan.
Di pantai itu, di kelilingnya berdiri bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak. Mereka semua asyik bercakap-cakap. Namun tidak ada satu kata pun yang dapat dipahami oleh John Geddie.
“Sudah jelas, aku harus belajar bahasa mereka,” kata John dalam hatinya.
Maka pada saat kapal layar itu makin menghilang di lautan lepas, ia mulai mendengarkan baik-baik lagu kalimat yang sedang diucapkan disekitarnya.
Penduduk pulau Aneityum yang suka berdagang itu cukup pandai berbicara bahasa Inggris. Mereka biasa bisa menggali akar ararut (ubi garut), lalu menawarkannya kepada para pendatang. Biasanya daripada menerima uang, mereka lebih suka tukar-menukar saja, sehingga dengan demikian mereka mendapat barang-barang yang mereka inginkan.
Tetapi masalahnya, bahasa Inggris yang cocok untuk perdagangan tukar menukar itu, bukanlah bahasa Inggris yang cocok untuk memberitakan Kabar Baik tentang Tuhan Yesus. Apa lagi, John Geddie tidak berminat mengajarkan bahasa Inggris kepada penduduk pulau itu.
“Buat apa aku mengajar mereka membaca Alkitab dalam bahasa Inggris?”
tanya John pada dirinya sendiri. “Sebaiknya, aku mau belajar bahasa Aneityum, bahasa mereka. Bila aku menceritakan isi Alkitab, aku ingin supaya mereka semua dapat mengerti, dari nenek yang paling tua samapi anak yang paling kecil. Aku ingin menjadi begitu pandai berbicara dalam bahasa mereka, sampai-sampai mereka akan merasakan bahwa aku adalah salah seorang dari antara mereka.”
Tidak lama kemudian, John Geddie memang dapat mengucapkan banyak kata dalam bahasa Aneityum. Namun ia belum puas. Ia sering meminta orang-orang Vanuatu mengulangi sampai berkali-kali satu kata yang sama.
Ia pun minta supaya satu kata itu mereka ucapkan dengan sangat pelan-pelan, agar ia dapat membeo bunyi yang sedang didengarnya itu.
Tetapi penduduk pulau itu kurang senang jika terus-menerus mengulangi kata-kata yang sama. Malu rasanya, jika harus bertalu-talu mengluarkan bunyi yang sama, hanya agar seorang asing dapat memperhatikan mulut mereka. Lambat laun mereka tidak segan-segan menyatakan rasa bosan atau rasa tersinggung mereka; satu persatu mereka meninggalkan di seorang diri.
“Wah, bagaimana aku dapat menguasai bunyi bahasa ini?” tanya John Geddie pada dirinya sendiri. “Apa lagi, jika aku tidak dapat menguasai bunyinya, bagaimana aku dapat menyusun tanda-tanda tulisan untuk bahasa ini yang belum pernah ditulis?”
Pada suatu hari John sedang mengunyah sepotong biskuit kapal. Biskuit kapal itu lain daripada biskuit kaleng–keras sekali, dan rasanya asin.
Justru karena kerasnya, biskuit semacam itu dapat bertahan lama. Pada masa lampau, selama pelayaran yang memakan waktu panjang, biskuit kapal biasa dibawa serta sebagai bekal.
Mula-mula John Geddie tidak suka memakan biskuit kapal. Tetapi lambat laun ia mulai menyukai rasanya, sehingga pada waktu kapal hendak melanjutkan perjalanannya, ia minta supaya ditinggalkan satu peti biskuit itu baginya. Sewaktu-waktu ia mengunyah sepotong biskuit yang keras dan asin rasanya itu.
Pada waktu John sedang makan-makan, kebetulan lewatlah seorang Vanuatu. Ia salah seorang penduduk setempat yang telah meninggalkan John tanpa pamit, karena ia bosan atau tersinggung jika diminta berulang-ulang mengucapkan kata yang sama. Namun John ingin tetap bersikap ramah terhadap tetangganya itu, maka ia menawarkan sepotong biskuit kapal kepadanya.
“Silakan coba!” katanya dalam bahasa Inggris.
Dengan agak was-was orang itu mulai mencicipi. Ia mengunyah biskuit yang keras itu. Ia menjilat dengan lidahnya. Lalu ia mengunyah lagi. Sudah jelas, ia menyukai biskuit yang asin rasanya itu.
Setelah selesai, ia mengulurkan tangannya. Tetapi John Geddie baru mendapat akal. Ia tidak segera memberikan lagi kepada tetangganya itu.
“Ayo, tukar!” kata John. Dan memang mereka mulai tukar-menukar. Yang diterima John sebagai pengganti biskuit itu, bukannya barang melainkan bunyi-bunyi yang diucapkan berulang-ulang.
Dengan cepat berita itu mulai tersiar, “Orang asing yang aneh itu rela memberikan makanan yang enak, asal saja ada penduduk yang rela membuang waktu dengan berkali-kali mengucapkan kata-kata dalam bahasanya sendiri!”
Maka selanjutnya John tidak pernah kekurangan penolong dalam usahanya belajar bahasa setempat.
Sepotong demi sepotong ia menawarkan biskuit kapal itu kepada penduduk setempat. Satu demi satu ia menguasai bunyi yang biasa dilafalkan dalam bahasa mereka, sampai dapat membeo setiap kata dengan tepat dan jelas.
Sementara itu, John Geddie juga sudah menyusun semacam abjad bahasa Aneityum. Ia mulai mencatat kata-kata dalam bentuk tulisan. Tidak lama kemudian, kepada para tetangganya ia dapat bercerita tentang Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga dapat bercerita tentang Yesus Kristus, yang sangat mengasihi semua orang.
Cerita-cerita yang disampaikan John Geddie itu berasal dari Kitab Injil Markus. Setiap kali bercerita, ia pun mencatat kata-kata dari ceritanya itu. Lambat laun ia dapat menyusun seluruh Injil Markus dalam bahasa Aneityum.
Penduduk pulau itu sudah mulai mengenal John Geddie; ia pun sudah semakin mengenal mereka. Mereka mulai saling mempercayai dan saling mengasihi. Oleh para tetangganya John sering dibawa serta pada waktu mereka pergi menjala ikan atau memelihara tanaman ubi ararut. Mereka memperlihatkan kepadanya bagaimana mereka menggali akar ararut, serta menyiapkan hasil tumbuhan itu untuk dijual.
Mereka juga mengajar John tentang adat mereka, tentang dongeng mereka, tentang cara mereka beribadah. Dengan panjang sabar John pun mengajar mereka tentang Tuhan Yesus Kristus. Lambat laun ada banyak di antara mereka yang menjadi orang Kristen.
Di samping mengajar, John Geddie juga masih terus menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa setempat. Setelah Kitab Injil Markus selesai, naskahnya dikirim ke Australia untuk dicetak. Ketika buku-buku kecil yang berisi Injil Markus itu sudah kembali lagi, sebagian penduduk Vanuatu merasa sangat senang: Mereka dapat membaca firman Allah dalam bahasa mereka sendiri! Tetapi sebagian lagi merasa sangat sedih, karena mereka itu masih buta huruf.
Maka John Geddie mulai mengajar orang-orang yang buta huruf itu, agar mereka dapat membaca bahasa mereka sendiri. Sementara itu, ia pun terus mengalihkan Firman Allah ke dalam bahasa mereka. Ketika Kitab Injil Matius selesai, John berhasil membeli sebuah alat cetak kecil. Selanjutnya hasil karyanya itu dapat langsung dicetak di Vanuatu.
Akhirnya seluruh Kitab Perjanjian Baru selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Aneityum. Dengan gembira John Geddie berkata kepada kawan-kawannya, “Sekarang kita harus mencetaknya.”
Tetapi Kitab Perjanjian Baru itu terlalu tebal; tak mungkin dikerjakan dengan alat cetak kecil yang sudah ada. Maka John Geddie mengumpulkan para pemimpin masyarakat setempat.
“Sekarang sudah ada Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa kalian sendiri,” ia mengumumkan.
“Benar!” jawab pemimpin mereka yang tertua. “Sungguh bagus dan ajaib, bahwa hal itu sudah terwujud.”
“Selanjutnya,” kata John, “banyak salinan yang harus dibuat oleh mesin.”
Para pemimpin masyarakat akan menunggu perkataannya lebih lanjut.
“Hal itu menuntut uang.”
Tidak ada seorang pun yang berbicara.
“Aku tidak punya uang,” kata John dengan sedih.
“Kami juga tidak punya uang,” kata para pemimpin.
Hening sejenak. Lalu John Geddie berbicara lagi: “Namun kalian sudah biasa menawarkan akar arurat kepada para pedagang kapal. Apakah kalian rela menyisihkan sepersepuluh dari hasil tukar-menukar itu? Apakah kalian rela menguangkan yang sepersepuluh itu, agar dapat dipakai untuk mengongkosi pencetakan Alkitab?”
Para pemimpin itu pulang dan berunding dengan rakyat. Lalu mereka melaporkan bahwa rakyat Vanuatu memang rela menyisihkan sepersepuluh dari hasil perdagangan mereka.
Setelah sepersepuluh itu diuangkan, hasilnya dua ribu dolar. John Geddie mengirimkan uang itu beserta naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Aneityum, agar dapat dicetak ditempat yang jauh.
Berbulan-bulan lamanya John dan kawan-kawannya menunggu. Lalu pada suatu hari, ada sebuah kapal yang sedang membongkar muatannya di pulau Aneityum. Di antara muatannya itu ada beberapa bungkusan besar yang dialamatkan kepada John Geddie.
Setiap keluarga di pulau itu menerima sebuah Kitab Perjanjian Baru. Namun di antara mereka masih ada yang belum pandai membaca.
“Mari kita mengadakan sayembara!” usul John. Beberapa hadiah di tawarkan kepada orang-orang yang berhasil membacakan Perjanjian Baru secara tepat dan jelas. Dengan rajin mereka bersaing untuk menjadi pandai membaca Firman Allah. Ternyata setiap hari ada sebanyak dua ribu orang Vanuatu asyik membacakan Alkitab. Dan sisa penduduk pulau itu asyik mendengarkan pembacaan mereka.
Sementara itu, John Geddie masih tetap meneruskan tugasnya sebagai guru dan penerjemah. Menjelang tahun 1872, hampir seluruh Kitab Perjanjian Lama sudah dialihkan ke dalam bahasa Aneityum.
Dua puluh empat tahun sudah lewat sejak kelasi itu menyerukan “Darat!” dari mercu tiang layar yang sedang membawa John Geddie dari jauh. Dan pada tahun yang kedua puluh empat itu juga, John Geddie pun tutup usia.
Para penduduk Vanuatu berkabung. “Ia telah meninggalkan kita,” kata mereka. “Ia telah berpulang ke surga.” Lalu mereka memasang sebuah plaket pada dinding gedung gereja terbesar di pulau Aneityem. Di atas plaket itu terukir kata-kata ini:
“Ketika ia mendarat pada tahun 1848, Di sini tidak ada orang Kristen. Ketika ia berpulang pada tahun 1872, Di sini tidak ada orang kafir.”
~ Elia Stories
BISKUIT YANG DITUKAR DENGAN BUNYI
Diposting oleh
edgar tatemba
09 September 2009
0 komentar:
Posting Komentar